Kamis, 24 September 2015

Bapak, Ibu Guruku,

Bapak, Ibu Guruku,

Assalamualaikum.

Bagaimana kabar Bapak dan Ibu saat ini? sebelumnya mohon maaf lahir dan batin? Mungkin Bapak-Ibu sudah tak mengingatku. Rambutku sudah tak gondrong dulu ,sekarang lebih rapi karena prosedure pekerjaan, tinggiku pun bisa jadi sudah setara dengan kalian. Suaraku telah matang, berubah menjadi orang dewasa berbeda saat Bapak-Ibu mendidikku di sekolah dulu.

Hari ini tanggal 24 - September - 2015,
aku menulis suratmu buat Bapak Ibu guru.

Mungkin engkau sedang letih setelah sibuk mengajar di sekolah. Atau capai, karena harus mempersiapkan pembagian daging sapi/kambing kepada murid-murid. Tapi aku hanya ingin engkau tahu, aku sangat berterima kasih atas semuanya. Maafkan aku yang membebani pikiranmu dengan kenakalan-kenakalanku dulu. Maafkan aku yang seringkali tidak mematuhimu. Maafkan aku yang jarang sekali menyapamu untuk hanya sekedar menanyakan "Apa kabar, Bapak-Ibu?” Maafkan aku yang lupa bagaimana berterima kasih padamu.

Ketahuilah, jika sekarang aku lebih pintar menulis, itu bukan berarti aku lebih hebat darimu. Engkaulah yang mengantarkanku ke pintu-pintu pengetahuan yang lebih maju. Bagaimana bisa aku sombong di depanmu? Bahkan engkaulah alasan kenapa aku mampu mengetik surat ini sekarang. Tidakkah kau ingat, ketika aku masih salah menulis abjad dan angka? Jelek ya tulisanya kalian pun tak tau apa yang aku tulis. :)

Aku yang sudah tumbuh besar, bukan lagi anak ingusan yang belajar membaca aksara. Engkau yang mengajarkanku untuk membaca tentang kehidupan yang ternyata tidak sesederhana menghafalkan puisi-puisi penulis terkenal.

Bapak dan Ibulah yang pernah bertanya padaku dulu: “Apa cita-citamu nak?”

Hehe waktu masih sekolah mungkin aku mantap menjawab pertanyaan itu, namun semakin besar, semakin aku ragu. Tak jarang, engkau menanyakan itu berulang kali. Dengan sabar, engkau terus menyalakan semangat bermimpi dalam hidupku. Tidak pernahkan engkau juga memikirkan masa depanmu sendiri? Misalnya… tentang kenaikan gaji misalnya ya pak/bu.

Tentu pernah kan. Bagaimanapun engkau manusia dewasa, punya keluarga yang harus mesti disuapi. Tak jarang aku berpapasan padamu di sore hari, sepulang sekolah. Aku sedang duduk-duduk di warung bersama teman-teman, sementara engkau baru pulang dari tempatmu mengajar.
Ya, agar anak-anak Indonesia lebih hebat dari anak-anak luar negeri.
Aku malu saat itu, ketika sadar begitu berat tanggung jawabmu sebagai guru.

Hingga detik ini, aku selalu mengingat matamu saat mengajar
Dulu tidak sedikit dari sahabatku, anak didikmu, yang nakal. Membolos, menyontek, merokok, sampai menggunakan fisik untuk bertengkar. Lalu kadang engkau dapati sahabatku pergi melompati pagar sekolah, lalu engkau menghukum dia (namanya rahasia) berdiri di lapangan. Terik, malu, dan tentu saja aku kesel melihat sahabatku dari kecil di perlakukan seperti itu.

Saat itu aku jadi membencimu dengan sangat. Menyumpah-nyumpah bahwa engkau adalah guru yang jahat, galak dan menyebalkan.
Tak jarang, aku kesal pada aturan yang engkau terapkan. Belum lagi kau memaksaku mengerjakan banyak hal. Menggarap berbagai soal mungkin masih bisa kuterima… namun mendengarkan ceramahmu yang membosankan? Ah! Buat apa?
Nilai-nilaiku tak selalu yang menjadi terbaik di kelas. Bahkan, motivasiku untuk belajar pun turun-naik.
Tapi kau tak melihatku sebagai anak yang malas. Kau memutuskan melihat lebih jauh, menyadari bahwa bocah yang terlihat tak peduli ini sebenarnya krisis kepercayaan diri. Memang benar, aku selalu merasa bahwa aku tak mampu. Ada satu masa dimana aku lelah harus mengejar pelajaranku.

Engkaulah yang selalu mendoakan kami “murid-muridku pasti bisa.”

Tentu itu tak langsung menjadikanku murid yang cerdas. Aku akan menangis seharian, menyalahkan guru yang tidak becus mengajariku. Jauh di dalam hati kecilmu, sesungguhnya engkau yang menangis lebih lama dariku kan pak/bu. Tentu kau berhak merasa gagal mendidikku. Tapi lambat laun aku tahu, itu bukan semata-mata kesalahanmu. Ini kesalahanku.

Sekarang bolehkah aku bertanya Bapak Ibu, masihkah kesehatanmu terjaga hari ini? bagaimana dlu kau bisa menjaga tenagamu
Setelah pagi mengajar, sore kerja sambilan mungkin ada, malam mengoreksi tugas dan mengurus keluarga sampai-sampai aku ingin sekali bilang pada Pak Jokowi agar hidupmu lebih diperhatikan.

Sekarang, mungkin juga engkau takut dengan pertanyaan-pertanyaanku yang sudah jauh lebih maju dari yang dulu. Mungkin engkau cemas tak lagi bisa “meladeniku.

Aku tidak ingin engkau sering bolos mengajar hanya karena transportasi yang digunakan terlalu jauh, seperti guru hebatku di MTS namanya Pak Baswari berangkat mengajar anaknya masih tidur pulang mengajar anaknya pun masih tidur,

Oiya kalian tau nggk muridmu yang bernama Taufiqqillah sekarang lagi berjuang menjadi TNI di Kalimantan, kalau saya sekarang masih menjadi babu bagian Food and Service di Perusahaan Swasta yang punya orang Denmark, minta doanya ya Pak?Bu, Terimah kasih juga pada Pak Dadang Hamdani yang telah mengajarku B.Inggris sehingga saya bisa berkomunikasi dengan orang Asing dan Pak Mustain yg telah mengajarkanku tentang Agama Islam, Dan masih banyak lagi guru yg hebat dalam hidupku, Pak Baswari, Pak Wahab, Pak Syaifulloh, Bu Sri Atoen, Bu Siti Humairoh Kka Yatty, Bu Iinury, Kka Maya dll.


Terima Kasih Guruku
Pagiku cerahku
Matahari bersinar
Ku gendong tas merahku di pundak
Selamat pagi semua
Ku nantikan dirimu
Di depan kelasmu Menantikan kami..
Guruku tersayang
Guru tercinta
Tanpamu apa jadinya aku
Tak bisa baca tulis
Mengerti banyak hal
Guruku terima kasihku
Nyatanya diriku kadang buatmu marah
Namun segala maaf kau berikan

Lagu ini sering di nyanyikan sebelum memulai pelajaranku di SMK namanya Pak Deni Atmawijaya dialah yg mengajarkanku menulislah dengan hati.



Dari Muridmu...

Senin, 21 September 2015

Aneh, memang

Hari ini seperti ingin menulis masa lalu. Haha semuanya tampak berwarna. Aku sudah melakukan banyak hal sendirian, melatih kemandirian melatih kedewasaan. Kamu mungkin akan menggelengkan kepalamu lebih lama sambil mengamati gerak gerikku. Aku sudah berbeda sekarang. Aku bukanlah aku yang dulu. Bukan hanya aku, kaupun telah berbeda sekarang. Seiring waktu berjalan, semua berubah tanpa persetujuan kita. Tiba-tiba saja aku menjadi seperti ini, dan kamu tak lagi disini. Ya sudahlah its oke tidak ada yang bisa terulang kembali. Hari-hari yang dulu sempat kita lalui bersama kini seperti gelembung basah yang sangat mudah pecah. Realita bicara lebih banyak, sementara aku dilarang bermimpi lebih jauh, apalagi berharap semua akan terulang kembali. Jika dulu kita begitu manis, entah kenapa kini jadi miris, tragis. Memang persepsiku sebagai lelaki saja yang berlebihan, (kayaknya sih :D) mengingat semuanya seperti koreng baru yang dipaksa untuk dicabut dari akarnya. "Sakit" Semua terjadi begitu cepat, seperti kedipan mata, tanpa sebab dan memunculkan banya pertanyaan yang tak pernah kutemukan jawabannya. (tanya pada rumput yang bergoyang Den. :D) Begitu banyak cerita konyol kamu dan aku sehingga kita teryawa seakan dunia takkan pernah berakhir. Menceritakan segala mimpi-mimpi besar. Bolehkah aku bertanya?"masih adakah hal itu dalam ingatanmu?"sudahlah tidak usah menjawab. Aku sudah berusaha menerima, kita semakin dewasa dan semakin berubah, dan bla bla bla bla. Aku sudah berusaha bernafas tanpamu. Berjalan tanpa diiringimu. Menjalani hari tanpa sapaan ceriamu. Makan sateayam di pasar bojong tanpamu. "Sudah" Dan kurasa aku berhasil. Namun diluar dugaanku, pada malam-malam begini, kau masih menetap dikepalaku. Namamu memaksa jadi yang utama dikepalaku. Aneh memang, aku selalu memikirkanmu yang tak pernah memikirkanku. Menyakitkan memang menyakitkan jika harus terus mendewasakan kenangan hanya karena masa lalu terlalu kuat untuk dihancurkan. Apapun yang kita lakukan dulu seperti terhapus begitu saja oleh masa, hari berganti, sejak saat itu juga jantung kita tak lagi mendenyutkan rasa yang sama.Inilah kita yang sekarang. Berusaha melupakan apa yang disebut kenangan. Berusaha melawan ketakutan yang disebabkan perpisahan. Siapapun yang lebih dulu melupakan tak menjamin semua akan benar-benar hilang. Siapapun yang pergi dan siapa yang ditinggalkan, kurasa keduanya sama sakitnya.Kita berdua dulunya saling mencintai. Iya. Kamu dan aku. Sama-sama sayang, sama-sama menginginkan, sama-samamengagumi, sama-sama membutuhkan, meski pada kenyataannya kita tak bisa saling bertemu walau sedang butuh. Tapi ya itulah kita, ah mungkin cuma kamu saja, berfikir bahwa kita tidak mungkin bersatu. Terlalu banyak hal yang dikorbankan dan terlalu banyak yang disakiti agar kita bisa bersama. Itulah kau, seorang yang selalu ingin sempurna. Manusia yang ingin menyenangkan siapa saja dan tak ingin menyakiti.Cinta itu kegawatan sederhana. Dibikin besar karena perasaan-perasaan sementara yang lahir dari endorfin. Kamu tau itu, aku tau ini dan kita berdua menikmatinya. Kita melawan apa yang kita pikir bisa kita taklukan. Kamu hanya menyerah pada dirimu sendiri, sedangkan aku menyerah pada apapun yang membuatmu berhenti. Cinta sesederhanaitu, seperti menyiapkan sarapan pagiku di sekolah. Segelas susu dan sebuah nasi. Kebahagiaan seharusnya tidak serumit itu, Bukan? Bukankah semua orang punya pilihan dan setiap pilihan punya konsekwensi. Kau bukannya tak mau memilih. Kau takut pada akibat dari pilihan itu. Kita semua takut. Tapi kau harus tahu kau tak akan menjalani ketakutan itu sendirian. Kebersamaan adalah kekuatan. Kau tak akan sendirian menghadapi hidupyang tengik dan bacin ini. Aku akan berada bersamamu sebagai rekan bajak laut yang siap sedia merebut kebahagiaan. Iya, bersamamu, Yasudah aku takan memaksa, sudah biarkan! Males ngelanjutinya tulisanya.